Bubur Suro, Tradisi Peringatan Asyura yang Sarat Makna di Pasuruan

Daftar Isi


Pasuruan, Monitor Pos — Setiap tanggal 10 Muharram, masyarakat Pasuruan memiliki tradisi turun-temurun yang masih terjaga hingga kini, yakni membuat dan menyantap Bubur nasi ,Suro atau dikenal juga sebagai Bubur Asyuro. Tradisi ini tidak hanya menjadi simbol kebersamaan dan syukur, tetapi juga menyimpan makna religius yang berakar dari kisah Nabi Nuh AS.

Menurut cerita yang berkembang di kalangan masyarakat, Bubur Suro dipercaya berasal dari makanan terakhir yang dimasak oleh Nabi Nuh AS bersama pengikutnya ketika bahtera mereka selamat dari banjir besar dan mendarat di bukit Judi. Karena persediaan makanan sudah menipis, Nabi Nuh mencampur sisa bahan makanan seperti gandum, kacang-kacangan, dan biji-bijian yang ada di kapal menjadi satu hidangan bubur.

Di Pasuruan, masyarakat menghidangkan Bubur Suro dengan bahan lokal seperti beras, ikan teri,kerupuk,telur dan yang lainnya. Tak jarang, bubur ini juga ditambahkan bumbu khas Jawa yang kaya rasa. Bubur ini kemudian dibagikan kepada tetangga, sanak keluarga, bahkan ke tempat ibadah dan pondok pesantren sebagai bentuk sedekah dan doa keselamatan.

“Tradisi ini sudah dilakukan sejak zaman nenek moyang kami. Setiap 10 Muharram, kami memasak Bubur Suro bersama-sama, lalu berdoa agar diberi keberkahan seperti Nabi Nuh yang diselamatkan Allah SWT,” ujar  salah satu warga Desa Gempol, Pasuruan.

Selain mengenang kisah Nabi Nuh, hari Asyura juga dimaknai sebagai momentum muhasabah dan memperbanyak amal kebaikan. Di beberapa wilayah, seperti Pasuruan bagian selatan, masyarakat juga menggelar pengajian, santunan anak yatim, hingga kenduri bersama.

Bubur Suro di Pasuruan bukan sekadar sajian makanan, tetapi cerminan nilai spiritual, solidaritas sosial, dan pelestarian budaya Islam yang membumi dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Jawa Timur.

S Aminah Firdaus 

Posting Komentar