Menjelang HUT RI, Marak Pemasangan Bendera One Piece: Antara Cinta Tanah Air dan Kritik Sosial
Karyo (36 ), bukan nama sebenarnya, adalah salah satu di antara mereka. Ia mengaku memasang bendera bajak laut di truknya itu bukan untuk memberontak, melainkan sebagai bentuk kecintaan terhadap bangsa sekaligus kritik sosial terhadap situasi yang dirasakannya tidak adil.
“Kami tidak sedang melawan negara, tapi melawan ketidakadilan yang dibuat oleh sistem dan elit yang tak berpihak. Kritik ini bukan bentuk kebencian, tapi bentuk cinta,” kata Karyo Sabtu 2/8
Menurut Karyo, semangat yang diusung oleh simbol Jolly Roger dalam konteks One Piece mencerminkan semangat perlawanan terhadap ketimpangan dan penindasan. Bagi dirinya dan para Nakama lainnya, hal ini menjadi cara untuk menyuarakan kegelisahan mereka terhadap kondisi bangsa.
“Kalau kita diam, sama saja kita membiarkan ketidakadilan terus berlangsung. Negara ini milik bersama, dan kita punya hak untuk menyuarakan kebenaran,” imbuhnya.
Karyo menjelaskan, bendera Jolly Roger sebenarnya sudah dikenal dan digunakan oleh komunitas Nakama sejak lama. Namun, menjelang peringatan kemerdekaan, penggunaannya kembali marak sebagai ekspresi protes terhadap kondisi sosial-politik yang menurut mereka semakin memburuk.
“Lambang ini sesuai serialnya. Gerakan perlawanan terhadap pemerintah korup dan menindas rakyat jelata. Ini murni keprihatinan kita terhadap keadaan bangsa,” ujarnya.
Sementara itu, Eko (36), sesama Nakama, memilih tidak memasang bendera tersebut di rumahnya. Namun, ia memahami dan mendukung pesan moral di balik aksi itu.
“Monkey D. Luffy punya cita-cita jadi orang paling bebas di seluruh lautan. Dia enggak segan melawan orang-orang kuat dan elite yang suka menindas. Mungkin semangat Luffy ini dianggap bisa mewakili sikap para Nakama,” terang Eko.
Ia menilai, pemasangan bendera Jolly Roger adalah bentuk simbolik dari semangat kebebasan dan keadilan, yang sejalan dengan cita-cita kemerdekaan Indonesia itu sendiri.
Fenomena ini menuai beragam respons dari publik. Sebagian memaklumi sebagai bentuk ekspresi demokratis, sementara yang lain menyayangkan karena dianggap tidak mencerminkan semangat nasionalisme secara konvensional.
Namun, satu hal yang tak terbantahkan: di balik selembar kain bergambar tengkorak dan tulang bersilang itu, ada suara-suara muda yang ingin didengar — suara yang bukan untuk meruntuhkan, tapi mengingatkan. Bahwa kemerdekaan bukan hanya tentang masa lalu, tapi juga tentang keberanian memperjuangkan keadilan di masa kini.
@Iyus
Posting Komentar