AKPERSI Tegaskan Peran Kontrol Sosial: Investigasi Dugaan Penyalahgunaan Dana Desa Ujung Genteng dan Indikasi Mafia Tanah Mengemuka

Table of Contents


Ujung Genteng, Monitor Pos ~ Asosiasi Keluarga Pers Indonesia (AKPERSI) kembali menegaskan perannya sebagai lembaga kontrol sosial independen setelah melakukan investigasi mendalam terkait dugaan penyalahgunaan Dana Desa Ujung Genteng, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, serta munculnya indikasi praktik mafia tanah yang kini ramai diperbincangkan publik.

Investigasi ini dilakukan menyusul viralnya pemberitaan di YouTube mengenai dugaan adanya oknum berpengaruh yang disebut-sebut memanfaatkan kekuasaan untuk mengambil alih lahan milik warga berlegalitas jelas berupa Sertifikat Hak Milik (SHM). Temuan lapangan juga menunjukkan adanya pembangunan permanen hingga penginapan di atas lahan bersertifikat tanpa bukti kepemilikan sah.

Pengakuan Warga vs Fakta Lapangan

Dalam sebuah wawancara, seorang warga perempuan—yang meminta identitasnya dirahasiakan—mengaku telah lama menggarap dan menempati lahan tersebut.

"Kami sudah lama menggarap lahan di sini, sudah puluhan tahun dari suami saya bujang sampai sekarang. Banyak yang bangun, bukan cuma kami,” ujarnya.

Namun, hasil investigasi AKPERSI menemukan fakta berbeda. Tidak satu pun warga yang dapat menunjukkan dokumen kepemilikan legal seperti SHM, AJB, atau girik. Dalih yang muncul umumnya berkisar pada lamanya mereka tinggal di lokasi tersebut serta dinamika pemekaran RT/RW yang membuat mereka menganggap lahan itu sebagai tanah negara atau tanah tidak bertuan.

Padahal, berdasarkan data koordinat resmi pada sertifikat serta floating Badan Pertanahan Nasional (BPN), lahan tersebut tercatat atas nama Rachmini Dewiyanti Binti Ibrahim. Temuan AKPERSI bahkan menunjukkan bahwa sebagian warga pernah melakukan pembayaran tunai kepada pemilik sah, yang semakin memperkuat legitimasi kepemilikan tersebut.

Indikasi Kuat Praktik Mafia Tanah

Di lapangan, AKPERSI juga menerima laporan adanya pihak-pihak yang diduga memprovokasi warga untuk melakukan penyerobotan lahan. Lebih jauh, oknum ini disebut membantu warga melakukan gugatan menggunakan dokumen pribadi seperti KTP, KK, dan Surat Domisili, meski tanpa dasar hukum kepemilikan apa pun.

AKPERSI menilai pola tersebut mengarah pada modus klasik mafia tanah: memanfaatkan ketidaktahuan warga, memperkuat narasi penguasaan lahan, lalu mendorong sengketa hukum berkepanjangan.

Kunjungan ke Kantor Desa: Minim Transparansi, Kepala Desa Tak Ada di Tempat

Tim AKPERSI kemudian mendatangi Kantor Kepala Desa Ujung Genteng. Namun setibanya di lokasi, tim justru keheranan karena tidak ditemukan papan nama atau identifikasi bangunan yang menunjukkan bahwa tempat tersebut adalah kantor desa resmi.

Kepala Desa juga tidak berada di kantor saat tim meminta keterangan. Staf yang ada hanya menerima surat konfirmasi serta klarifikasi resmi dari AKPERSI.

Salah satu warga, yang akrab dipanggil Pak Haji, mengatakan:

"Kepala desa jarang ke kantor. Kalau dilihat itu motor kadus saja yang ada.”

Minimnya kehadiran perangkat desa dinilai semakin mempertebal dugaan kelalaian dalam pengelolaan administrasi dan anggaran desa.

Dana Desa Fantastis Tanpa Papan Informasi Anggaran

Temuan paling mencolok adalah tidak adanya Papan Informasi Anggaran Dana Desa, padahal pemasangan informasi publik merupakan kewajiban dalam UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.

Padahal, berdasarkan data Kementerian Keuangan, Dana Desa Ujung Genteng tahun 2025 mencapai nilai:

  • Total Dana Desa: Rp 1.287.904.000
    • Tahap 1: Rp 772.742.400 (60%)
    • Tahap 2: Rp 515.161.600 (40%)
    • Tahap 3: Rp 0

Dengan anggaran sebesar ini, ketiadaan papan informasi publik dianggap sangat janggal. Publik pun kesulitan melakukan pengawasan terhadap penggunaan anggaran pada sejumlah program seperti pembangunan jalan, prasarana kantor desa, dan dukungan UMKM.

Langkah Tegas: Laporan ke Inspektorat dan KPK

Berdasarkan seluruh temuan lapangan—mulai dari dugaan penyalahgunaan dana desa hingga indikasi praktik mafia tanah—AKPERSI resmi melayangkan surat permintaan pemeriksaan dan audit menyeluruh kepada Inspektorat dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Ketua Umum AKPERSI menegaskan bahwa lembaganya akan terus mengawal kasus ini.

"Ini uang negara, bukan uang pribadi. Harus digunakan untuk masyarakat. Tidak boleh ada lagi celah penyalahgunaan anggaran,” tegasnya.

Pesan Presiden: Tidak Ada yang Kebal Hukum

AKPERSI juga mengutip pernyataan tegas Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto, mengenai penegakan hukum:

"Tidak ada yang kebal hukum di NKRI." 

Pernyataan ini menjadi pengingat bahwa pengawasan dana desa dan penanganan mafia tanah harus dilakukan tanpa pandang bulu.

Publik Menunggu Tindak Lanjut Aparat

Dengan semakin banyaknya temuan dan kesaksian yang muncul, publik kini menantikan langkah cepat aparat penegak hukum.

Apakah pemeriksaan akan segera dilakukan untuk mencegah potensi kerugian negara yang lebih besar?
Atau justru kasus ini akan kembali berlarut-larut di tengah absennya transparansi dan minimnya pengawasan di tingkat desa?

@Iyus